Jumat, 01 Juli 2016

Sukarno kehilangan lukisan


Adalah series karya yang kubuat untuk pameran di Dialogue, Jakarta bersama dua sahabat sekaligus anggota krack studio, Malcolm Smith dan Rudi Hermawan. Karya ini membicarakan tentang sejarah dan pengetahuan seni rupa Indonesia, khususnya pada tahun 1940 – 1960 yang berangkat dari koleksi karya seni milik Soekarno.
Karya ini berangkat dari pembahasan tentang fungsi museum seni rupa yang dimiliki Negara, salah satu hal menarik yang menjadi kegelisahan saya adalah;

-Kurang atau tidak berfungsinya peran museum Negara dalam memberikan pengetahuan tentang seni rupa kepada masyarakat luas,
-Buruknya sistem Negara dalam menjaga koleksi seni Negara (terutama koleksi lukisan Sukarno), sampai kepada tidak jelasnya tentang keberadaan koleksi tersebut, yang dikabarkan beberapa lukisannya rusak dan hilang.

Untuk mengembangkan ide pada seri ini saya melakukan riset tentang beberapa karya Soekarno yang hilang, salah satu yang kutemukan adalah karya milik Rudolf Bonnet berjudul ‘menanam padi’. Karya ini adalah salah satu dari ribuan karya koleksi Soekarno yang dikabarkan hilang.

*sumber dari TEMPO februari 2001



Semua karya yang kubuat dalam seri ini berangkat dari lukisan Rudolf Bonnet, saya mengembangkan bentuk visual dari tokoh tokoh yang ada didalam lukisan tersebut kedalam level dan cerita yang lain.

Menurut saya membahas tentang hilangnya koleksi Sukarno sangat penting, karena hilangnya lukisan bukan hanya secara fisik sehingga tidak lagi dapat kita lihat dan apresiasi, tapi juga hilangnya pengetahuan dan sejarah seni sebagai situs perjuangan bangsa.

Pembentukan bangsa Indonesia dan rasa nasionalisme yang salah satunya lewat seni, tidak terlepas dari peran seniman. Pada masa pemerintahan Soekarno, yang juga dikenal sebagai salah satu kolektor senirupa terbaik, seniman memiliki posisi yang penting sebagai para pemberi gagasan dan ide untuk membentuk karakter bangsa Indonesia.











Jumat, 24 April 2015

Captain cook still here


Adalah karya series yang berbicara mengenai kehidupan sosial masyarakat Australia, khususnya suku aborigin saat ini melalui sudut pandang saya. Karya ini berawal dari pertama kali saya ke Darwin bulan agustus 2014. Dan melihat perkembangan antara suku aborigin dan kulit putih/pendatang di sana.

"Captain Cook Still Here" is series of my work, exploring the relation and tension about Aboriginal as the indigenous and white men as newcomers in Australia. This work inspired by my first experienced when visited Darwin in August 2014. At that time I was surprised to saw the majority of aboriginal and how they accepted me without any suspicious and treated me nicely. It was quite different with other experienced as a visitor in other cities in Australia. I think it because we are look alike physically.




Berangkat dari sana saya membuat karya series berjudul ‘captain cook still here’, acuan pembuatan karya yang saya gunakan adalah dari lukisan Emanuel phillipps fox (1865-1915), seorang pelukis di tahun 1901 yang mengabadikan kedatangan captain cook pertama kali di Australia. Pada lukisan itu dia menggambarkan adegan captain cook dan awak kapalnya berlabuh dipantai disambut suku aborigin dengan tombak. Lukisan itu adalah simbol kedatangan kulit putih di Australia untuk pertama kalinya. Di lukisan itu terekam permasalahan antara suku aborigin dan kulit putih, tentang kepemilikan lahan di Australia. Sampai saat ini permasalahan itu masih menjadi hal yang sangat sensitive, sehingga permasalah rasis muncul mengikutinya. Permasalahan rasis sendiri sangat kuat di Darwin, terlebih karena di Darwin banyak suku aboriginnya daripada di kota kota lain di Australia.

In this work, I am using the painting of Emanuel Philips Fox (1865-1951) a painter who perpetuated the first arrival of Captain Cook in Australia in 1901. In the painting, he was depicted a scene when Captain Cook and his crew anchored and welcomed by Aboriginal with spear in their hands.For me, this painting is a symbol of first mingle between Aboriginal and white man, which also had tension between suspicious and welcome for both. Until today this tensions are visible, mostly about the ownership right of their land which can seen as racism issues. I feel it is occurs very strong in Darwin, the city with big amount of Aboriginal population in Australia.




Karya ‘captain cook still here’ adalah karya interpretasi saya mengenai permasalahan itu. Pada pembuatannya saya memakai proses kolase, menggabungkan lukisan E Philips fox untuk mengambil symbol kedatangan kulit putih pada masa lalu dan memakai drawing pemandangan australia yang saya buat selama residensi untuk mewakili kehidupan masa kini. Karya ini adalah perspektif saya mengenai isu kepemilikan lahan yang muncul dan masih ada di Australia sampai saat ini.

The work of “Captain Cook Still Here” is my interpretation about this issue. I using the collage to merge the painting and the view of Australia that I took during my residency period in recent time. This collages is to emphasize about the issue that happened for the first arrival of white men until present day.





An Other Othering Another

Sejak Australia dijajah oleh Inggris tahun 1788, penganiayaan secara sistematis kepada orang Aborigin dan perusakan tanah serta budaya mereka membuat dampak yang buruk sekali yang masih berlangsung hingga hari ini. Di salah satu negara paling kaya di dunia, komunitas komunitas Aborigin masih termarginalkan dan masih terkena dampak kemiskinan, kekerasan dan masalah kesehatan.Penjajahan yang dialami bangsa Indonesia tidak lebih baik dan juga traumatis, tetapi dengan cara yang berbeda. Kolonial Belanda akhirnya dipaksa meninggalkan Indonesia tahun 1949, dan sejak saat itu, ‘pribumi’ Indonesia memiliki kesempatan untuk membangun negaranya dan budayanya dengan cara mereka sendiri.Karena itu, seniman Indonesia dan seniman Aborigin Australia membicarakan konteks yang sanggat berbeda tentang kolonialisasi. Mereka seperti berjalan di tanah yang licin dan rentan tergelencir untuk menyamakan pengalaman kolonialisme mereka atau mencoba membandingkannya antara di Indonesia dan Australia. Prihatmoko Moki sedang berjalan di tanah yang licin ini dalam pamerannya ‘Forget me not’.

Since the colonization of Australia by the British in 1788, the systematic abuse of Aboriginal people and destruction of their land and culture has had a devastating impact that is still being felt today. In one of the wealthiest nations on the planet, Aboriginal communities are still marginalized and plagued by poverty, violence and poor health.The colonial experience in Indonesia has been no less traumatic, but has been played out in a very different way. Dutch colonisers were finally forced out of Indonesia in 1949 and since then the ‘pribumi’ have had the opportunity to rebuild a culture and a nation according to their own terms.Understandably then, Aboriginal artists in Australia and Indonesia are addressing a very different social and political context, and terms such as ‘post-colonial’ become slippery and unreliable when we attempt to draw parallels between Indonesia and Australia’s colonial experience. It is onto this slippery ground that Prihatmoko Moki has walked in his exhibition ‘Forget me Not’.




Pada bulan Juli 2015 Moki melakukan tour musik dengan band ‘Punkasila’, di Darwin, sebuah kota di utara Australia dimana terdapat orang Aborigin dengan populasi yang besar. Di jalan-jalan di Darwin dia merasa ketegangan antara orang indigenous (aborigin) dan non-indigenous. Lalu waktu dia berbincang dengan salah satu musisi Aborigin yang juga bermain di Darwin Festival, dia terkejut bahwa mereka melihatnya sebagai ‘one of their mob’. Dari perspektif geografi, Yogyakarta (tempat Moki berasal) lebih dekat ke Darwin daripada komunitas Aborigin di selatan Australia.Beberapa minggu kemudian, Moki memulai residensi di Megalo, yang merupakan studio print yang berpengalaman yang berada di Canberra, Australia. Sejak 35 tahun, Megalo mampunyai reputasi sebagai studio yang fokus untuk karya yang membahas isu isu budaya secara kritis, termasuk isu Aborigin di Australia.

In Juli 2015 Moki performed with his band Punkasila in Darwin, a city in the far North of Australia with a large Aboriginal population. On the streets of Darwin he sensed the occasional tension between the indigenous (Aboriginal) and the non-indigenous community and was surprised to find, in discussion with other Aboriginal performers at the festival, that they saw him as one of their ‘mob’. Geographically speaking, coming from Yogyakarta, Moki’s home is indeed far closer to Darwin than Aboriginal communities in the southern states of Australia.Several weeks later Moki began his residency at Megalo, a highly respected printmaking studio in Canberra, Australia’s Capital City. Megalo has a long history of producing socially engaged art and particularly works that supported rights for Indigenous peoples.



Dipengaruhi oleh karya-karya seniman Megalo yang pernah mengeksplorasi isu isu Aborigin, dan juga oleh pengalamannya sewaktu di Darwin, serta perasaanya sebagai orang yang tumbuh dan besar di negara dengan warisan kolonial, Moki kemudian memulai proyek yang membicarakan isu-isu seputar kolonial dan identitas budaya.Karyanya dalam seri yang pertama, berjudul “Captain Cook Still Here” mempertanyakan keadaan Australia yang masih dikoloni hingga hari ini. Jika kolonial di Indonesia telah berakhir saat kemerdekaan, dari perspektif Moki, apakah berarti koloni masih berlangsung di Australia? (Tentu, Australia menjadi ‘Federasi’ tahun 1901, tetapi kepala Queen Elizabeth masih ada di semua uang Australia).

Influenced by the work of other Megalo artists who had explored Aboriginal issues, as well as by his recent experience in Darwin, as well as by his own cultural heritage growing up in a country with a colonial history, Moki embarked on a project to explore the issues surrounding colonization and cultural identity.His first series of work, “Captain Cook Still Here” questions whether Australia is actually still a colony. If Indonesia’s colonial period ended at the time of Independence, from Moki’s perspective, wouldn’t that mean Australia is still a colony? (Sure, Australia became a ‘Federation’ in 1901, but the Queen is still on all the currency)




Gambar ini berasal dari karya E Phillips Fox, seorang seniman Australia (keturunan Inggris) pada akhir abad ke-19. Dia mendapat komisi untuk melukis 'The landing of Captain Cook at Botany Bay', yang mengambarkan penyerbuan Orang Inggris ke Botany Bay, dengan orang Aborigin berupa bayangan di belakang. Dari perspektif ironis Moki, hal ini masih merupakan situasi kolonial di Australia. Dia merasa bahwa orang Australia sering ‘menutup-nutupi’ kalau dia bertanya tentang isu isu Aborigin. Bahkan teman teman seniman yang progresif terlihat takut untuk berbicara tentang hal ini.Lewat penelitiannya tentang E Phillips Fox, Moki menemukan karya Tommy McRae, seorang seniman Aborigin yang juga bekerja pada akhir abad 19an. Mcrae menghasilkan banyak gambar yang mendokumentasikan kehidupan orang Aborigin. Dia mengambar mereka dengan teknik dan cara kasar, tapi dengan banyak kegandrungan dan kelembutan. Banyak kemiripan sifat gambar antara karya McRae dan Phillips Fox, tetapi memiliki arti yang sangat berbeda. Karya McRae bercerita tentang kehidupan sehari hari orang Aborigin, rutinitas mereka, masalah mereka, dan persepsi mereka tentang rezim kolonial. Moki menyandingkan antara keangkuhan diri dari propaganda Phillips Fox dengan kerendahan hati karya McRae, mempertanyakan perbedaan antara penjajah dan dijajah.

These images were based on the drawing of E Phillips Fox, an australian artist (of British descent) who lived in Australia in the late 19th Century. He was commissioned to 'The landing of Captain Cook at Botany Bay' commemorating the British invasion of Australia, in which shadowy and indistinguishable figures of Aboriginal people were placed in the background. From Moki’s wry perspective, this is still the enduring colonial situation. He felt Australian Aboriginal issues are often ‘menutup menutupi’ by Australians. He even got the feeling from his left-leaning friends from the arts community that they seemed wary of discussing the politics of Aboriginal people and the colonial invasion.His research into Phillips Fox led Moki to the work of Tommy McRae, an Aboriginal artist who also worked at the end of the 19th century. McRae prodigiously documented the lives of Aboriginal people, sketching them in a rough way but with great tenderness. His figures convey a very different meaning to Phillips Fox’s aboriginal people. McRae’s figures tell the stories of daily life of Aboriginal people, their daily routines, the struggles they faced, their attitudes to and the injustices of the colonial regime. Moki juxtaposes the self-aggrandizement of the Phillips Fox’s colonial propaganda against the humanity of McRae’s figures, recalibrating the dynamic between the colonizer and the colonized.




Seri karya terakhir dicetak setelah Moki pulang ke Indonesia. Di yogya, dia tidak lagi memiliki hak ‘underdog’. Di Indonesia, sebagai orang Jawa, Moki merupakan bagian dari budaya mainstream. Sejak kemerdekaan, dan terutama selama Orde Baru, Pulau Jawa telah mendapat manfaat melalui rezim yang melakukan kontrol otoriter atas pulau tetangganya di Nusantara, melalui program transmigrasi, eksploitasi sumber daya, dengan represi kekerasan oposisi politik dan pembunuhan banyak orang untuk keperluan 'Indonesia Bersatu', terutama di Timor L'Este, Papua dan Aceh.Dalam seri akhir ini, Moki membandingkan status politik Aborigin Australia dengan perjuangan yang sedang berlangsung dari rakyat Papua Barat. Tanah dan sumber daya mereka masih dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional dengan kolusi pemerintah dan militer Indonesia, dan mereka menderita pelanggaran hak asasi manusia yang masih berlangsung hampir setiap hari.Banyak pertanyaan muncul dari pameran ini, terlepas dari latar belakang etnis atau kebudayaan kita. Bisakah ketidakadilan penjajahan masa lalu benar-benar diberikan kompensasi? Bagaimani kompensasi ini bisa dibentuk? Sejauh mana kita sebagai individu bertanggung jawab atas ketidakadilan ini? Dan apa yang harus dilakukan bagi kita untuk menjadi bagian dari solusi?


Malcolm Smith


The final series of works were printed after Moki returned to Yogya. Back in Java, he was no longer granted the perverse priveledge of being ‘the underdog’. In Indonesia , as a javanese person, Moki is part of the mainstream culture.Since Independence, and particularly during the New Order, the island of Java has benefitted through a regime that exercised authoritarian control over its neighbors in the archipelago, from the colonialist transmigration policies, to the exploitation of resources, to the violent repression of political opposition, to countless murders in the name of a ‘Indonesia Bersatu’, particularly in Timor L’Este, Papua and Aceh.In his final series of images Moki contrasts the political status of Aboriginal Australians with the ongoing struggles of the West Papuan people, whose land and resources are still being exploited by multinational corporations with the collusion of the Indonesian government and military, and who suffer ongoing violations of human rights on an almost daily basis.This body of work raises many questions for us all, no matter what our ethnic or cultural background. Can the injustices of colonisation ever really be compensated? What form would this take? To what extent are we as individuals responsible for these injustices? And what would it take for us to be part of the solution?

Malcolm Smith