pada bulan oktober 2011 saya membuat sebuah proyek seni berjudul KW2, ini adalah pertama kalinya saya membuat proyek yang semacam ini, dan berikut ini adalah penjelasan tentang proyek tersebut;
Projek KW2 ini berawal dari apa yang saya lihat tentang perkembangan seni rupa yang ada di Indonesia, khususnya seni lukis dan seni grafis, dimana seni lukis selalu menjadi nomor satu dan seni grafis berada dibawahnya,dalam kaitannya dengan pasar, dan juga sebagai objek koleksi. Permasalahan medium ini cukup menjadi pertanyaan besar buat saya.Apakah karena seni grafis memiliki sifat yang dapat digandakan dengan mudah sehingga nilainya jadi berkurang dibandingkan seni lukis yang dibuat tunggal?Atau memang muatan pada karya itu sendiri yang menjadi penyebabnya?
KW2 project is began from what I saw on the development of visual art in Indonesia, especially painting and graphic art, when painting has always been the number one and graphic art is below it, in relation to the market as well as object of collections. This media problem becomes a big question for me.Is it because the graphic arts can be duplicated easily, so its value is reduced compared to painting which is made only one piece? Or does the content on the work itself is the cause?
proses pembuatan poster menggunakan teknik grafis (silk screen) -poto oleh moki
Berawal dari pertanyaan tersebut, saya mulai mengerjakan Proyek KW 2.Dalam proyek ini, saya membuat poster dengan menggunakan imej lukisan karya seniman-seniman kontemporer termahal di Indonesia, menurut data salah satu balai lelang di Paris, Perancis.Imej lukisan-lukisan ini saya dapatkan melalui situs milik beberapa balai lelang.Saya memproduksi poster dengan imej-imej ini menggunakan teknik silk screen CMYK. Masing-masing imej karya diproduksi sebanyak duapuluh kopi.Saya memberi harga poster-poster ini senilai Rp 10.000,00 dan menjajakannya dengan gerobak kaki lima dipinggir Jalan D.I. Panjaitan.
Starting from these questions, I began work on Project KW2. In this project, I made a poster with images of paintings by the most expensive contemporary artists in Indonesia, based on the data from one auction house in Paris, France. I got the images of these paintings through sites of several auction houses. I produced posters with this images using CMYK silkscreen technique. I produced 20 copies for each image. I sold it for IDR 10.000,- using sidewalk cart, on DI. Panjaitan Street.
gerobak kaki lima untuk menjajakan poster-poto oleh moki
poto oleh budi dharmawan
speaker aktif dibuat dari kardus oleh Nathan gray-poto oleh anang saptoto
dan berikut ini adalah tulisan pengantar pameran projek KW2 dari Agung Kurniawan;
Selama proses pengerjaan, saya melakukan banyak diskusi, dan gagasan dasar proyek ini pun berkembang. Isu ruangpublik/privat, otentisitas, hingga fungsi seni itu sendiri, muncul diantara banyak diskusi.Dan saya tidak menutup kemungkinan untuk terus mengembangkannya baik dari segi visual maupun muatannya,Selama perkembangan tersebut masuk dalam kerangka besar projek ini, yaitu dari kegelisahan yang saya rasakan dan membuka kemungkinan-kemungkinan untuk menampilkan sesuatu yang baru.
During the process of working, I made a lot of discussion, and the basic idea of this project was developed. The issue of public /private space, authenticity, to the function of art itself, appears during those discussions. And I am still open to any possibility to keep developing the ideas, both in terms of visual as well as the content. As long as those developments accordance with the main framework of this project, namely the anxiety that I feel, and open up for possibilities to show something new.
prihatmoko moki
proses kolaborasi membuat advertising sound dengan Nathan gray-poto oleh anang saptoto
dan berikut ini adalah tulisan pengantar pameran projek KW2 dari Agung Kurniawan;
KW 2: lukisanku sepalsu cintamu/
KW 2: My Painting As Fake As Your Love
Ketika para seniman muda jogja masih miskin, mereka selalu bangga bisa membeli sepatu di Outlet Biru. Sebuah toko di utara jogja yang menjual barang-barang palsu. Semuaya palsu; dompet, sepatu, jam tangan bahkan saya kira senyum para penjaganya pun palsu. Toko ini sedemikian terkenalnya hingga Anda tidak akan dianggap anak muda masa kini dari sisi selatan Jogja jika tidak membeli sepatu di toko ini. Semua orang membeli sepatu di toko ini, bahkan ketika mereka sadar bahwa sepatu yang mereka beli palsu. Membeli benda palsu menurut pandangan saya bisa disebabkan karena kita tidak mampu membeli barang aslinya, atau bisa juga karena ada semacam tuntutan “gaya hidup” untuk mengkonsumsi benda-benda palsu. Kalau cinta saja bisa palsu, tak apalah juga memakai sepatu palsu. Cintamu sepalsu sepatumu.
When Jogja young artists were still poor, they were proud able to buy shoes at Outlet Biru, a shoes store which sells fake brands. Everything fakes: the wallets, shoes, watches, and I think, even the smile of the shopkeepers. This store is so famous, that you would not be considered as “cool” youngsters of south Jogja, if you did not bought shoes here. Everybody bought shoes at this store, even when they know that those shoes fake. Buying fake items, in my opinion, can be caused by not afford to buy the original, or because there are sort of “life style” demand to consume fake things. If love might be faked, so there is no problem to wear fake shoes. Your love is as fake as your shoes.
penjualan poster-poto oleh anang saptoto
Ada sebuah generasi yang tak peduli dengan keaslian, menurut mereka asli itu aneh. Dapat dimengerti oleh karena hampir seluruh generasi yang lahir di awal tahun 80 an selalu dikelilingi benda-benda palsu. Ketika bayi mereka meminum susu ibu palsu (susu bayi) beranjak dewasa dicekoki oleh mainan palsu dari cina, beranjak dewasa lagi mulailah mereka berkenalan dengan sepatu, kaos, topi palsu, dan akhirnya program-program bajakan di komputer. Dari program bajakan itulah mereka engawali karier artistiknya. Sehinga pelan tapi pasti ide tentang keaslian terhapus dari memori kolektif.
There is a generation which do not care of originality. They think that originality is weird. It is understandable, because almost all early 80's generation is surrounded by fake things. Even when they were babies, they drank artificial breast milk (formula); then when they grew up, they were fed with fake toys made in China. Finally, when they grown up, they started to know fake shoes, t-shirts, hats, and also pirated software. From those pirated software, they started their artistic carrier. Finally, slowly but sure, the ideas of originality are erased from their collective memories.
Sebuah generasi yang disapih ketidakaslian adalah gambaran paling tepat untuk menyebut generasi Prihatmoko alias Moki, seniman usia 28 tahun.
Proyek KW 2 ini menggunakan ketidak aslian itu dalam konteks berbeda. Moki membuat poster dari karya seni lukis termahal di balai lelang. Dia sadar meski mahal, lukisan-lukisan itu tak pernah mampir di ingatan. Lukisan-lukisan itu hanya bisa dilihat dan dimiliki oleh orang-orang pilihan negeri ini. Mungkin hanya sekitar 10 sampai 20 orang yang dapat mengakses karya-karya termahal itu secara langsung. Selebihnya hanya mendengar rumor atau gosipnya. Bahkan senimannya sekalipun diputus dari kemungkinan untuk mengaksesnya. Karya itu, meminjam istilah Sanento Yuliman, dipingit. Bagai gadis perawan hendak dikawin. Kalau istilah sekarang di-privatisasi. Oleh karena itu Moki kemudian menyablon karya-karya itu dalam bentuk poster. Dicetak di atas kain kerah murahan, tapi tetap menggunakan cara menyablon yang rumit. Kemudian menjual poster-poster itu di pinggir jalan dengan harga sepuluh ribu rupiah, selayaknya harga poster bajakan dari ST 12 dan Sheila on Seven. Dalam pandangan Moki publik (juga) berhak untuk dapat mengakses karya para empu seni lukis itu, oleh karena sebagian besar ide para pelukis didapatkan dari situasi sehari-hari di Indonesia. Masyarakat berhak untuk diberi “bocoran” kejeniusan para empu Indonesia.
A generation weaned from falseness is the most appropriate description for Prihatmoko a.k.a. Moki's generation, 28 years old artist.
This KW 2 art project is using falseness into different context. Moki makes posters of the most expensive paintings in the auction. He realises that even though those paintings are expensive, they are not be remembered. Those paintings can only be seen and owned by certain people in this country. Maybe only 10 -20 people who able to access directly those most expensive masterpieces. The other people only just heard the rumour about it, even the artist himself is cut from the possibility of accessing it. Those masterpieces, quoted from Sanento Yuliman, are “secluded”, just like a virgin which is secluded before the wedding. Nowadays term is “privatization”. That is why, Moki silkscreen it into poster, printed on cheap fabric, but using complicated silkscreen technique. He sold it on the roadside for 10,000 IDR each, just like pirated posters of ST12 and Sheila on Seven (Indonesian bands). In Moki's opinion, public (also) have the rights to access those masterpieces, because mostly the ideas of those painters are taken from daily situation in Indonesia. The public have the rights to get “the cheat sheet” of Indonesian masters’.
display gerobak untuk menjual poster di Kedai Kebun Forum-poto oleh moki
Oleh karena tujuan utamanya adalah menginformasikan capaian-capaian artistik kepada publik luas, maka penggunaan media poster sangat tepat. Orang dari segala lapisan bisa membeli kemudian menempelkan dengan paku pines di kamar tidur mereka. Moki secara tidak disadari menjalankan fungsi intermediate dari lembaga-lembaga kebudayaan milik pemerintah yang tidak berjalan. Museum dan galeri milik pemerintah tidak punya kebijakan untuk mendokumentasikan capaian-capaian aristik seniman Indonesia lewat museum. Publik dipisahkan dari dokumen yang mendokumentasikan gerak perubahan masyarakat. Tidak disadari bahwa diluar harga mahal dan tidak masuk akal itu, karya seni rupa itu sesungguhnya juga sebuah dokumen sosial yang seharusnya juga berfungsi sosial.
Because the main purpose is to inform the artistic achievements to public, so the using of posters as the media is most appropriate one. People from all social classes are afford to buy it, and then pinned it on their bedroom wall. Instinctively, Moki becomes the intermediate between “lack” government cultural agencies and the governmental galleries, which have no policy to document artistic achievements of Indonesian artists through museum. Public are separated from their visual documents, which documented the society's changing. Unconsciously, those masterpieces, out of very expensive and unreasonable price, are also social documents, which also should have social function.
Moki mengubah lukisan mahal sebagai poster sebagai jawaban atas privatisasi seni di Indonesia, sebuah kerja kurang ajar yang menarik dan layak diberi ruang. Semoga terobosan kecil dari seniman berambut keriting ini mampu memprovokasi medan seni rupa kita yang frigid ini.
Moki changes those masterpieces into posters as the answer of art privatization in Indonesia. It is an interesting “ill bred” work that is worth to be given a space. Hopefully, this small breakthrough, from curly-hair artist, is able to provoke our frigid visual art.
Agung Kurniawan, Direktur Artistik Kedai Kebun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar