Rabu, 19 September 2012

'POWER OF THE SUN' (silk screen poster exhibition)

Pada bulan september 2012 saya membuat pameran tunggal, pameran kali ini sedikit berbeda dengan pameran pameran sebelumnya, karena saya menggunakan nama 'mukamalas' untuk berpameran.




dan berikut ini adalah tulisan dari Mira yang ada di katalog;

Power of the sun : hak istimewa untuk semua
Muncul pada era paska boom seni lukis membuat prihatmoko moki ‘terlahir’ sebagai seniman dengan harga yang tinggi sejak pameran tunggal pertamanya. Alih alih membuatnya terlena, hal ini membuat menyimpan banyak kegelisahan dan berbagai pertanyaan tentang proses. Proses merupakan suatu hal yang dipelajarinya secara terbalik tepat setelah keterkejutannya atas pasar seni rupa itu sendiri. Meskipun berasal dari keluarga seni dan mengenyam pendidikan seni sejak dini, perasaan ‘terlahir’ terlalu cepat itulah yang membuat moki terus berproses ulang, mencari makna, dan bereksperimen dengan berbagai media.

festivalist


anggisluka

Hal tersebut mendorongnya membuat beberapa karya kolaboratif, artist merchandising, membuat komik dan buku, hingga karya performance di ruang –ruang seni alternative. Baginya ada penyikapan yang berbeda dalam pembuatan karya seni di galeri komersil dan ruang seni alternative. Sebagai seorang seniman, ia merasa harus memiliki sikap yang mampu ditunjukan dengan karya karyanya dengan cara yang khas. Pemilihan lokasi Lir Space dalam project terbarunya ini merupakan usahanya untuk mencari tempat uji coba dan bereksperimen dengan ‘pasar seni rupa’ dalam lingkup yang (dalam hal ini) sangat kecil.

shopping list
 
black ribbon

airport radio

Dalam pameran ‘Power Of the Sun’. moki membuat poster 12 band yang terdiri dari berbagai genre dan berasal dari Jogja. Desain poster tersebut merupakan interpretasi visual moki atas band-band pilihan pribadinya. tidak hanya merasa memiliki kedekatan personal, moki pun tergabung sebagai anggota pada lima diantara duabelas band yang diposterkan (Punkasila, Airport Radio, Black Ribbon, Shopping List, dan The wonosari).

punkasila

the wonosari

Poster tersebut dibuatnya dengan memanfaatkan tehnik sablon yang merupakan ciri khas karya-karyanya. Tehnik ini dipilih karena kemampuannya untuk direproduksi tanpa menghilangkan unsur sentuhan tangan dan tetap memiliki nilai estetika khusus yang berkarakter. Tiap-tiap salinan karya tidak ada yang persis sama. Ketidaksempurnaan ini lah yang membedakan hasil sablon dengan poster hasil cetak digital yang serba seragam. Selain itu, moki merasa banyak terbantu karena tinggal di Negara tropis di mana matahari bersinar sepanjang tahun dan mempermudah proses sablonnya. Ia menyebut hak istimewa ini sebagai ‘Power Of The Sun’.
melancholic bitch

frau

individual life

sangkakala

stars and rabbit

Moki sendiri terbiasa mengerjakan suatu  karya berbasis hal-hal yang memiliki kedekatan dengan dirinya; dalam hal ini-musik, sablon dan kota Jogja. Pameran ini merupakan usaha Moki untuk mempertemukan bidang grafis dan music yang berjalan beriringan namun masih juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan atas penghargaan satu sama lain. Situasi ini dinilainya secara unik hanya berlaku di Jogja yang merupakan kota para ‘pembuat’. Selalu ada ego dan alasan  untuk membuat sendiri alih-alih membeli. Karena itulah terkadang system yang digunakan dalam beberapa kasus merupakan system barter/gotong royong yang unik dan penuh pemahaman. Kali ini moki melempar hak istimewa penentuan ‘harga’ atas sebuah karya kembali ke publik.


Masing masing desain poster ini hanya akan dicetak sebanyak 20 lembar dan ‘pasar seni rupa’ yang hadir dalam pameran ini; para musisi, mahasiswa, sampai ibu ibu rumah tangga memiliki hak yang sama untuk memilih dan menentukan sendiri harga yang bersedia mereka bayarkan untuk tiap karya yang mereka inginkan. Hal ini merupakan bentuk eksperimen sang seniman atas pasar senirupa alternative, khas dengan sedikit sentuhan humor ala Moki yang menggelitik. Maka, selamat memanfaatkan hak istimewa anda dan selamat berbelanja!
Mira Asriningtyas 


dan berikut ini adalah tulisan mas Terra;
Tempelan yang ditempel
Poster dan grup musik. Pada poster inilah musik menemukan salah satu jodoh visualnya. Tentu saja setelah pilihan-pilihan jodoh visual lainnya seperti sampul album, video musik, tata panggung, dan penampilan pemusiknya sendiri. Pada awalnya musik ditampilkan murni hanya musik, sehingga pada konser konser musik klasik para pemainnya berpenampilan netral, tanpa gerakan yang tidak perlu, bahkan tanpa tata lampu. Konsep serupa masing diusung hingga kini, dan bersanding dengan musik yang ditampilkan justru hanya pada unsur visualnya. Unsur visual nyatanya hanyalah suatu ‘tambahan’ (dari suatu inti : musik), yang membuatnya menuju pada sebuah karya bergenre popular. Tambahan ini oleh seorang kawan disebut ‘tempelan’, yang dimanfaatkan untuk meraih variasi dan kekhasan. Tempelan awal pada musik adalah lirik. 





Pada pameran moki ini, kita lihat tempelan musik yang konseptuil dan faktuil sekaligus. Karyanya merupakan tempelan kesekian pada dunia musik (industri), awalnya sebagai penyedia informasi: dalam rupa poster, yang sejatinya berupa media informasi berupa cetakan grafis yang lazimnya ditempelkan. Poster dalam musik kemudian tak hanya dimanfaatkan sebagai penyedia informasi pentas atau pertunjukan namun dimanfaatkan untuk mengabadikan idola kita dalam ruang privat, baik nyata maupun maya. Semangat belajar gitar masa muda tahun 1980an akhir akan semakin menggelora jika kita menatap Iwan Fals dibalik pintu kamar, atau merasa sudah melawan kemapanan ketika poster telanjang dada kelompok Slank hadir disamping jendela, dan malu malu mau ketika poster spice girls bonus majalah Hai menggantikannya. 

poster slank

Media cetak majalah memberi peran besar pada jasa perposteran ini, yang kadang disebut pin-up karena berukuran lebih kecil seluas area majalah. Hampir semua poster tersebut hadir dengan eksekusi visual fotografi, karena dimanfaatkan dunia industry untuk merepetisi penampilan musisi supaya menjadi dagangan, dan tak banyak yang mengolahnya dengan eksekusi visual lain. Moki yang juga musisi, anak band, sekaligus perupa grafis, sadar betul bahwa kebutuhan berposter bukan dengan wajah musisinya ini kemudian menjadi attitude juga bagi sebuah band atau musisi, ideologi kecil-kecilan yang tidak melulu melayani industry dengan komodifikasi fisik pemusik, namun kemudian bisa menawarkan jalan lain untuk menyatukan alas an bermusik dan tuturan visualnya.

Tidak semua musisi bermusik untuk menjadi idola, atau supaya menjadi lebih berharta. Karya-karya moki mengingatkan pada sikap grup Pearl Jam yang enggan tampil pada sampul album maupun poster  konser, dan memilih menyewa seniman untuk membuat ilustrasi grafis yang menerjemahkan benang merah album, atau Art Chantry yang memilih eksekusi manual, terutama cetak saring untuk master design sampul-sampul album yang dikerjakannya.Kedua belas grup music dirangkum dan diterjemahkan secara visual oleh moki, sesuai seleranya tentu saja, dalam bentuk poster yang kolektibel yang diharapkan mampu menjadi penghubung antara grup music dengan para pendengar fanatiknya, menjadi lubang intip bagi calon pendengar, dan tempelan penghias ruangan bagi siapa saja. Sesonic apa grafis yang ditampilkan moki, bergantung pada tafsir masing-masing pribadi dengan atau tanpa diiringi musiknya. Sikap berkesenian serupa, diharap membuka jalan alternative bagi hadirnya gig poster, band poster dan variasi tempelan visual lainnya yang lebih khas dalam scene musik Indonesia.
Terra Bajraghosa

semua poto oleh dito yuwono dan Lir space

Tidak ada komentar: