Pada bulan september 2012 saya membuat pameran tunggal, pameran kali ini sedikit berbeda dengan pameran pameran sebelumnya, karena saya menggunakan nama 'mukamalas' untuk berpameran.
dan berikut ini adalah tulisan dari Mira yang ada di katalog;
Power of
the sun : hak istimewa untuk semua
Muncul pada era paska boom seni lukis membuat prihatmoko moki ‘terlahir’
sebagai seniman dengan harga yang tinggi sejak pameran tunggal pertamanya. Alih
alih membuatnya terlena, hal ini membuat menyimpan banyak kegelisahan dan
berbagai pertanyaan tentang proses. Proses merupakan suatu hal yang
dipelajarinya secara terbalik tepat setelah keterkejutannya atas pasar seni
rupa itu sendiri. Meskipun berasal dari keluarga seni dan mengenyam pendidikan
seni sejak dini, perasaan ‘terlahir’ terlalu cepat itulah yang membuat moki
terus berproses ulang, mencari makna, dan bereksperimen dengan berbagai media.
anggisluka
Hal tersebut mendorongnya membuat beberapa karya kolaboratif, artist
merchandising, membuat komik dan buku, hingga karya performance di ruang –ruang
seni alternative. Baginya ada penyikapan yang berbeda dalam pembuatan karya
seni di galeri komersil dan ruang seni alternative. Sebagai seorang seniman, ia
merasa harus memiliki sikap yang mampu ditunjukan dengan karya karyanya dengan
cara yang khas. Pemilihan lokasi Lir Space dalam project terbarunya ini
merupakan usahanya untuk mencari tempat uji coba dan bereksperimen dengan ‘pasar
seni rupa’ dalam lingkup yang (dalam hal ini) sangat kecil.
shopping list
airport radio
Dalam pameran ‘Power Of the Sun’. moki membuat poster 12 band yang terdiri dari berbagai genre dan berasal dari Jogja. Desain poster tersebut merupakan interpretasi visual moki atas band-band pilihan pribadinya. tidak hanya merasa memiliki kedekatan personal, moki pun tergabung sebagai anggota pada lima diantara duabelas band yang diposterkan (Punkasila, Airport Radio, Black Ribbon, Shopping List, dan The wonosari).
Dalam pameran ‘Power Of the Sun’. moki membuat poster 12 band yang terdiri dari berbagai genre dan berasal dari Jogja. Desain poster tersebut merupakan interpretasi visual moki atas band-band pilihan pribadinya. tidak hanya merasa memiliki kedekatan personal, moki pun tergabung sebagai anggota pada lima diantara duabelas band yang diposterkan (Punkasila, Airport Radio, Black Ribbon, Shopping List, dan The wonosari).
punkasila
the wonosari
melancholic bitch
frau
individual life
sangkakala
Moki sendiri terbiasa mengerjakan suatu
karya berbasis hal-hal yang memiliki kedekatan dengan dirinya; dalam hal
ini-musik, sablon dan kota Jogja. Pameran ini merupakan usaha Moki untuk
mempertemukan bidang grafis dan music yang berjalan beriringan namun masih juga
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan atas penghargaan satu sama lain. Situasi ini
dinilainya secara unik hanya berlaku di Jogja yang merupakan kota para
‘pembuat’. Selalu ada ego dan alasan
untuk membuat sendiri alih-alih membeli. Karena itulah terkadang system
yang digunakan dalam beberapa kasus merupakan system barter/gotong royong yang
unik dan penuh pemahaman. Kali ini moki melempar hak istimewa penentuan ‘harga’
atas sebuah karya kembali ke publik.
Masing masing desain poster ini hanya akan dicetak sebanyak 20 lembar dan
‘pasar seni rupa’ yang hadir dalam pameran ini; para musisi, mahasiswa, sampai
ibu ibu rumah tangga memiliki hak yang sama untuk memilih dan menentukan
sendiri harga yang bersedia mereka bayarkan untuk tiap karya yang mereka
inginkan. Hal ini merupakan bentuk eksperimen sang seniman atas pasar senirupa alternative,
khas dengan sedikit sentuhan humor ala Moki yang menggelitik. Maka, selamat
memanfaatkan hak istimewa anda dan selamat berbelanja!
dan berikut ini adalah tulisan mas Terra;
Tempelan
yang ditempel
Poster
dan grup musik. Pada poster inilah musik menemukan salah satu jodoh visualnya. Tentu
saja setelah pilihan-pilihan jodoh visual lainnya seperti sampul album, video musik,
tata panggung, dan penampilan pemusiknya sendiri. Pada awalnya musik ditampilkan
murni hanya musik, sehingga pada konser konser musik klasik para pemainnya
berpenampilan netral, tanpa gerakan yang tidak perlu, bahkan tanpa tata lampu.
Konsep serupa masing diusung hingga kini, dan bersanding dengan musik yang
ditampilkan justru hanya pada unsur visualnya. Unsur visual nyatanya hanyalah
suatu ‘tambahan’ (dari suatu inti : musik), yang membuatnya menuju pada sebuah
karya bergenre popular. Tambahan ini oleh seorang kawan disebut ‘tempelan’,
yang dimanfaatkan untuk meraih variasi dan kekhasan. Tempelan awal pada musik adalah
lirik.
Pada pameran moki ini, kita lihat tempelan musik yang konseptuil dan faktuil sekaligus. Karyanya merupakan tempelan kesekian pada dunia musik (industri), awalnya sebagai penyedia informasi: dalam rupa poster, yang sejatinya berupa media informasi berupa cetakan grafis yang lazimnya ditempelkan. Poster dalam musik kemudian tak hanya dimanfaatkan sebagai penyedia informasi pentas atau pertunjukan namun dimanfaatkan untuk mengabadikan idola kita dalam ruang privat, baik nyata maupun maya. Semangat belajar gitar masa muda tahun 1980an akhir akan semakin menggelora jika kita menatap Iwan Fals dibalik pintu kamar, atau merasa sudah melawan kemapanan ketika poster telanjang dada kelompok Slank hadir disamping jendela, dan malu malu mau ketika poster spice girls bonus majalah Hai menggantikannya.
poster slank
Media
cetak majalah memberi peran besar pada jasa perposteran ini, yang kadang
disebut pin-up karena berukuran lebih kecil seluas area majalah. Hampir semua
poster tersebut hadir dengan eksekusi visual fotografi, karena dimanfaatkan
dunia industry untuk merepetisi penampilan musisi supaya menjadi dagangan, dan
tak banyak yang mengolahnya dengan eksekusi visual lain. Moki yang juga musisi,
anak band, sekaligus perupa grafis, sadar betul bahwa kebutuhan berposter bukan
dengan wajah musisinya ini kemudian menjadi attitude juga bagi sebuah band atau
musisi, ideologi kecil-kecilan yang tidak melulu melayani industry dengan
komodifikasi fisik pemusik, namun kemudian bisa menawarkan jalan lain untuk
menyatukan alas an bermusik dan tuturan visualnya.
Tidak semua musisi bermusik untuk menjadi idola, atau supaya menjadi lebih
berharta. Karya-karya moki mengingatkan pada sikap grup Pearl Jam yang enggan
tampil pada sampul album maupun poster
konser, dan memilih menyewa seniman untuk membuat ilustrasi grafis yang
menerjemahkan benang merah album, atau Art Chantry yang memilih eksekusi
manual, terutama cetak saring untuk master design sampul-sampul album yang
dikerjakannya.Kedua
belas grup music dirangkum dan diterjemahkan secara visual oleh moki, sesuai
seleranya tentu saja, dalam bentuk poster yang kolektibel yang diharapkan mampu
menjadi penghubung antara grup music dengan para pendengar fanatiknya, menjadi
lubang intip bagi calon pendengar, dan tempelan penghias ruangan bagi siapa
saja. Sesonic apa grafis yang ditampilkan moki, bergantung pada tafsir
masing-masing pribadi dengan atau tanpa diiringi musiknya. Sikap berkesenian
serupa, diharap membuka jalan alternative bagi hadirnya gig poster, band poster
dan variasi tempelan visual lainnya yang lebih khas dalam scene musik Indonesia.
Terra
Bajraghosa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar